Selasa, 16 November 2010


Generasi Biru, Generasi Slank

TEMPO Interaktif, Jakarta: Lima kupu-kupu melintas, lalu hilang. Bukan kupu-kupu asli, melainkan animasi. Kupu-kupu itu beberapa kali muncul dalam film Generasi Biru karya tiga sutradara: Garin Nugroho, John De Rantau, dan Dosy Omar. Film ini mengangkat Slank, kelompok musik dengan pendukung sangat luas dan fanatik bernama Slankers.

Generasi Biru dibuka dengan sebuah mesin jackpot yang sedang bekerja. Adegan ini seperti menyajikan sebuah simbol bahwa hidup adalah perjudian, yang diwarnai kalah dan menang. Selanjutnya bermunculanlah lebih dari 20 lagu Slank, termasuk yang diambil dari konser.
Lagu-lagu itu antara lain Bang Bang Tut, Bendera Setengah Tiang, Anjing, Pulau Biru, Cekal, Suit-suit... He.he (Gadis Sexy), Piss, Kamu Harus Pulang, Missing Person, Orkes Sakit Hati, Indonesiakan Una, dan Generasi Biroe. Lagu-lagu itu diambil dari sejumlah album yang diproduksi sejak 1990.

Semua lagu itu berisikan sikap kelompok musik itu terhadap persoalan sosial dan politik. Coba simak petikan lagu Bendera Setengah Tiang ini, misalnya: "Gak cukupkah/Banyak nyawa yang hilang dan terbuang percuma/Berapa lagi/Banyak korban berceceran darah tak berdosa".

Atau petikan lagu Cekal: "Cekal dicekal/Kritik beda pendapat/Cekal dicekal/Dianggap biang rusuh/Kami juga punya ide/Kalian juga punya ide...".
Juga petikan lagu Indonesiakan Una ini: "Oh Reny, apa kamu gak merasa takut/Manusia di sini mulai gak manusiawai/Dan kebenaran cuma jadi barang opini/Bisakah kita melindungi Una di negeri ini".

Lagu-lagu itu, tentu saja, menempatkan dua pihak yang terlibat perjudian hidup itu: pihak yang menang dan pihak kalah. Dan selalu saja yang digambarkan kalah adalah rakyat biasa. Kalah dalam hidup. Kalah dalam menghadapi kesemena-menaan. Kalah secara politik. Juga kekalahan-kekalahan lainnya.

Maka penonton bisa menemukan peristiwa penggusuran, anak-anak kurang gizi, kekerasan aparat terhadap demonstran, kerusuhan 1998, hingga kasus penculikan. Ada pula anak kecil yang selalu sembunyi di bawah meja karena masih trauma melihat orang tuanya diculik.
Slank digambarkan berusaha mengajak rakyat yang kalah ini untuk beranjak dari kekalahan itu. Dalam kasus anak yang trauma itu, misalnya, Bimbim berusaha membujuk anak itu. Awalnya tidak mempan, tapi akhirnya ia berhasil membuat anak itu keluar dan bermain seperti layaknya anak-anak lain.

Memang, masing-masing lagu yang dinyanyikan Slank menyuguhkan persoalannya sendiri, menyajikan gambar-gambar atau adegan yang mendukung lagu itu. Baik itu gambar-gambar dokumenter, gerak tari atau koreografi, maupun dramatisasi persoalan dengan simbol-simbol tertentu.

Misalnya ada adegan seseorang yang dicitrakan sebagai pemimpin yang berbicara dengan bahasa dan kata-kata yang tidak jelas. Tokoh itu seperti hendak mengejek para pemimpin yang berbicara seenaknya dan "hanya Tuhan dan si pembicara itu sendiri yang tahu maksudnya".

Tengok pula adegan orang-orang yang kencing seenaknya. Bahkan suara kencing mereka kadang seperti suara tembakan. Lagi-lagi, film ini hendak mengkritik kesemena-menaan. Memang, sejumlah koreografi, juga animasi, dalam film ini berbicara sangat simbolik.
Generasi Biru boleh dibilang bukan film biasa. Ia tidak menghadirkan cerita dengan alur yang mudah diikuti. Drama dalam film ini berada dalam tiap lagu yang disajikan, gerak koreografi, animasi, adegan-adegan, dan gambar-gambar yang berusaha memvisualkan lagu itu.

Meskipun, tentu saja, bagi penonton awam tidak mudah menerjemahkan simbol-simbol itu. Begitupun, ibarat sebuah puisi, penikmat bisa saja terhanyut dalam simbol-simbol itu. Dengan kata lain, simbol-simbol itu tidak cuma mengandung gagasan, tapi juga keindahan.
Lihatlah koreografi yang diciptakan oleh Eko Supriyanto, David Undry, dan Jecko Siompo. Film ini seolah menjadi sebuah panggung untuk pertunjukan tari. Gerak-gerak ini dimaksudkan untuk memperkuat gagasan yang ingin disampaikan.

Film ini memang hadir dengan kemasan yang unik: cerita, musik, dokumentasi, dan animasi. Cerita, seperti diungkapkan di atas, hadir melalui sebuah tafsir bebas terhadap gagasan besar: Slank dan keindonesiaan.

Generasi Biru menghadirkan realitas Slank, juga Slankers, sebagai bagian dari Indonesia. Garin dan kawan-kawan tidak menghadirkan Slank sebagai sosok yang biografis. "Film Generasi Biru bukan film tentang profil Slank," kata Garin dalam pernyataan persnya.

Bagi Garin, ini karya yang menggambarkan keadaan Indonesia lewat kacamata Slank, lewat lagu-lagunya yang menggambarkan kondisi negeri ini secara politik, sosial, dan ekonomi. Jadi tidak perlu mencari sejarah kelompok musik itu di sini. Slank ditampilkan sebagai sebuah entitas pop yang punya karakter kuat dan kritis.

Pilihan semacam itu bukan tanpa risiko. Bagi penonton yang buta terhadap Slank, ia tidak akan mendapat penjelasan yang cukup tentang siapa sebetulnya kelompok itu. Lebih jauh, bayangkan jika film ini ditonton oleh generasi tiga puluh atau lima puluh tahun mendatang.
Tapi, lagi-lagi, ini sebuah pilihan. Garin dan kawan-kawan telah memilih sebuah cara untuk bertutur tentang Slank. Jadi, jika ada penonton kemudian tidak mengerti dengan cara tuturan tersebut, itu risiko yang telah diperhitungkan. Yang pasti, musiknya tetap bisa dinikmati. Piss!
MUSTAFA ISMAIL


Generasi Biru
Sutradara: Garin Nugroho, John De Rantau, Dosy Omar
Asisten Sutradara: Dian Sasmita
Pemain: Kaka, Bimbim, Ivanka, Ridho, Abdee,
Bunda Iffet, Nadine Chandrawinata, Ophy Nambe
Jenis film : Musikal
Koreografer: Eko Supriyanto, Davit Undry, Jecko Siompo
Animator: Ricky Zulman, Terra Bajraghosa, Adi Panuntun
Pantomim: Yayu Aw Unru
Produksi: Set Film dan Shooting Star


Bermula dari Cikini

Slank bermula dari kelompok band bernama Cikini Stones Complex (CSC) yang dibentuk pada 1983. Anggotanya adalah siswa-siswa SMA Perguruan Cikini, Jakarta. Kelompok ini beranggotakan Bimo Setiawan (drum), Boy (gitar), Kiki (gitar), Abi (bas), Uti (vokal), dan Well Welly (vokal).
Kini Slank telah mengalami 14 kali perubahan personel. Formasi terakhir adalah Bimbim (drum), Kaka (vokal), Ivanka (bas), Ridho (gitar), dan Abdee (gitar).
Slank telah melahirkan sejumlah album, antara lain Suit-Suit....Hehehe (Gadis Sexy) pada 1990, Kampungan (1991), Piss (1993), Generasi Biru (1995), Minoritas (1996), Lagi Sedih (1996), Tujuh (1997), Mata Hati Reformasi (1998), 1999 (999), Virus (2001), Satu Satu (2003), Bajakan! (2003), Road to Peace (2004), Plur (2005), Slankisme (2006) dan Slow But Sure (2007).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar